Lepas Sambut Hermawan, S.Pd, M.Pd Kepala SMPN 2 Kotabaru |
Lepas Sambut Hermawan, S.Pd, M.Pd Kepala SMPN 2 Kotabaru |
Rapat Komite Sekolah |
Penyerahan Prestasi Peringkat Kelas Semester 1 TP 2015-2016 |
Penyerahan Prestasi Peringkat Kelas Semester 1 TP 2015-2016 |
Cara Terbaik Memahami Anak
Banyak dari orangtua dan guru bertanya dalam pikiran mereka sendiri :
- Mengapa anak saya tidak peduli dengan masa depannya?
- Mengapa mereka melakukan hal-hal yang tidak masuk akal (guru dan orangtua)
- Mengapa mereka tidak mau mendengarkan walupun sudah diingatkan berkali-kali?
- Mengapa anak saya membiarkan dirinya dipengaruhi oleh hal-hal negatif dari teman-temannya yang tidak berguna?
Nah, pertanyaan utama : bagaimana memahami perilaku dan pemikiran mereka?
Jawabanya adalah EMOSI mereka. Emosi
sangat menguasai logika berpikir mereka anak-anak dan remaja. Remaja
dan anak-anak jauh lebih banyak didorong oleh perasaan mereka daripada
pemikiran yang baik untuk mereka. Dengan mengetahui hal ini, maka
sia-sia upaya kita mengkuliahi mereka seharian. Membombardir pikiran
mereka dengan nasehat positif, menjadikan diri kita motivator dadakan
didepan mereka tidak akan mempan. Justru membuat anak bertambah “sebal” dengan kelakuan kita. komentar atau nasihat seperti : “kamu harus giat belajar”, “jangan buang waktumu dengan bermain terus”, “jaga kebersihan dikamarmu”, kecuali bila kita sudah terlebih dahulu mengenali perasaan mereka.
Dalam kondisi emosi
yang negatif seorang anak tidak dapat menerima input dan nasehat bahkan
titah sekalipun yang dapat mengubah perilaku mereka. Berbeda hasilnya
jika kita mampu mengerti dan mengenali perasaan emosi
mereka terlebih dahulu maka mereka akan terbuka dan mendengarkan saran
logis dari kita. Anak–anak dan remaja akan melakukan sesuatu jika
membuat mereka merasa nyaman atau enak di rasanya atau hatinya.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita akan belajar
bersama, bagaimana reaksi kita dalam menghadapi masalah anak.
Seringkali jika ada masalah maka yang ada dibenak kepala kita umumnya
ada 3 hal, yaitu :
1. Memberi Nasihat, misal: “saya tadi berkelahi dengan Agus, disekolah”, respon kita pada umumnya “apa-apaan kamu ini sekolah bukan tempat belajar jadi tukang berantem, hanya penjahat yang menyelesaikan masalah dengan berantem”
2. Menginterogasi, misal: “Hp saya hilang di sekolah” respon kita pada umumnya “kamu yakin bukan kamu sendiri yang menghilangkan? Yakin kamu tidak lupa, coba diingat kembali”
3. Menyalahkan dan menuduh, misal: “tadi Edo dihukum karena tidak mengerjakan PR” respon kita pada umumnya “dasar anak malas, mulai hari ini kamu harus lebih disiplin dan perhatikan tugas disekolah”.
Setelah melihat ketiga contoh diatas, tidak ada satu ruang pun untuk mengakui perasaan atau emosi
anak, betul? Seringkali kita ini hanya memberikan masukan tanpa mau
mendengar apa yang sebenarnya terjadi (lebih tepatnya perasaan apa yang
terjadi pada diri anak kita). Ketika emosi seorang anak diabaikan mereka akan lebih marah dan benci. Selama ini mereka berada dalam keadaan emosi negatif, semua nasihat-nasihat maksud baik kita tidak akan digubris, malah akan di “gubrak”.
Cara terbaik untuk memahami anak kita
adalah, mengakui emosinya (kenali emosinya) dan beri mereka kekuatan
untuk menemukan solusi atas masalah mereka sendiri. Caranya adalah:
1. Dengarkan mereka 100%, tatap matanya dengan tatapan datar atau sayang. (Berikan perhatian dan pengakuan)
Terkadang yang dibutuhkan anak hanya didengar saja, bukan solusinya. Hanya memberikan perhatian 100% kita bisa terkejut, ternyata anak mau terbuka dan mau berbagi pikiran dan perasaan. Hanya dengan berkata “hmm.. okay, begitu ya.. lalu..” Walau nampaknya sederhana, jujur ini sulit bagi kita orangtua yang terbiasa mau ambil jalur cepat alias memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Ketika hal itu kita lakukan, anak akan menutup diri dan menghindar bicara kepada kita. Anak hanya akan meyatakan pikiran dan perasaan yang sejujurnya tanpa takut dihakimi.
Terkadang yang dibutuhkan anak hanya didengar saja, bukan solusinya. Hanya memberikan perhatian 100% kita bisa terkejut, ternyata anak mau terbuka dan mau berbagi pikiran dan perasaan. Hanya dengan berkata “hmm.. okay, begitu ya.. lalu..” Walau nampaknya sederhana, jujur ini sulit bagi kita orangtua yang terbiasa mau ambil jalur cepat alias memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Ketika hal itu kita lakukan, anak akan menutup diri dan menghindar bicara kepada kita. Anak hanya akan meyatakan pikiran dan perasaan yang sejujurnya tanpa takut dihakimi.
Ketika kita biarkan anak mengungkap emosi
dan pikirannya dengan bebas (saat kita ada untuk memberi dukungan
emosional), kita akan melihat mereka dapat menemukan solusi sendiri
untuk permasalahan mereka. Kelebihan lainnya dari pendekatan ini adalah
anak akan mengembangkan rasa percaya diri untuk berpikir bagi dirinya
sendiri dan menghadapi tantangan – tantangan hidup.
Misal : “saya tadi berkelahi dengan Agus, disekolah”, respon kita “apa yang terjadi? Lukamu pasti sakit sekali yah.. oh, okay”
2. Mengenali dan mengambarkan emosi.
Perlu bagi kita sesaat untuk mempelajari makna dari emosi, karena ini penting bagi kita untuk bisa mencerminkan emosi anak dan mengerti dengan pasti apa yang mereka rasakan. Dengan dimengertinya perasaan mereka, maka mudah bagi mereka untuk terbuka dan bicara tentang masalah mereka. Berikut adalah emosi yang umumnya dialami oleh manusia.
Perlu bagi kita sesaat untuk mempelajari makna dari emosi, karena ini penting bagi kita untuk bisa mencerminkan emosi anak dan mengerti dengan pasti apa yang mereka rasakan. Dengan dimengertinya perasaan mereka, maka mudah bagi mereka untuk terbuka dan bicara tentang masalah mereka. Berikut adalah emosi yang umumnya dialami oleh manusia.
Nama Emosi dan Makna-nya :
- Marah – Merasakan adanya ketidakadilan
- Rasa bersalah – Kita merasa tidak adil terhadap orang lain
- Takut – Kita diharapkan antisipasi karena sesuatum yang tak diinginkan bisa saja terjadi
- Frustrasi – Melakukan sesuatu berulangkali dan hasilnya tak sesuai harapan artinya kita harus cari cara lain
- Kecewa – Apa yang diinginkan tidak bisa terwujud
- Sedih – Kehilangan sesuatu yang dirasa berharga
- Kesepian – Kebutuhan akan relasi yang bermakna bukan hanya sekedar berteman
- Rasa tidak mampu – Kebutuhan untuk belajar sesuatu karena ada sesuatu yang tak bisa dilakukan dengan baik
- Rasa bosan – Kebutuhan untuk bertumbuh dan mendapatkan tantangan baru
- Stress – Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan
- Depresi – Sesuatu yang terlalu menyakitkan dan harus segera dihentikan
Baiklah kita mulai dengan satu kasus, jika anak Anda datang kepada Anda dan berkata “Joni tidak mau bermain bola dengan ku” apa jawab Anda? “Sini main sama papa/mama, maen sama yang lain saja ya atau ya sudah.. maen sendiri saja”. Ketiga jawaban ini sekilas adalah jawaban klasik, dan memang dibenarkan karena sering dipakai. Pertanyaan saya ada Emosi apa dibalik kata-kata anak tersebut? Betul!! KECEWA, KESEPIAN, nah kalau begitu responnya bagaimana? “Hmm.. nak kamu pengen banget ya maen sama Joni?” atau “Hmm.. kamu kesepian yah, pengen main ya?” lalu tunggu responnya, biasanya anak akan bercerita panjang lebar, kemudian solusi sebaiknya diserahkan kepada anak, caranya “lalu apa yang bisa Papa/Mama bantu buat kamu? Mau maen sama Papa/Mama? Atau ada ide lain?”
Biarkan anak memilih solusi terbaik bagi dirinya. Hafalkan tabel diatas
dan gunakan untuk berkomunikasi dengan anak, pahami seiap kasus yang
dialami anak.
Dengan turut mengerti perasaan emosi
anak dan membiarkan menemukan solusi masalahnya sendiri maka anak akan
merasa dipahami dan nyaman. Serta akan tumbuh rasa percaya diri
dilingkungan yang menghargai dia. Dan berikutnya akan mudah bagi anak
untuk terbuka terhadap orangtuanya, dan sikap saling percaya antara
orangtua dan anak akan terbentuk dengan baik.
Sampai kini, kita telah belajar
bagaimana caranya agar anak terbuka dan percaya pada kita, betul?
Berikutnya bagaimana caranya mengarahkan? Caranya setelah kita mendengar
dan mengerti perasaan dan emosi anak, serta menanyakan solusi terbaik menurut anak (jika anak sudah mampu berpikir untuk solusi) tanyakan “bolehkah Papa/Mama usul?”
setelah ada ijin dari anak maka berikan masukan yang Anda rasa paling
mujarab. Terkadang cara pandang anak tidak sama dengan orangtua, kita
tahu jika anak memilih solusi yang kurang tepat (menurut orangtua)
dengan nilai, norma yang berlaku di lingkungan sosial maka kita bisa “menggiringnya” dengan mudah karena langkah 1 dan 2 sudah dilakukan. Tentunya dengan model komunikasi yang sopan dan tetap menghargai anak.
Pintu gerbang kekerasan hati anak akan
terbuka lebar saat kita mau menerima dan mengerti anak kita, dan anak
akan mempersilahkan kita masuk dan bertamu didalam lubuk hatinya yang
paling dalam. Ditempat itulah kita dapat meletakan pesan, arahan dan
masukan positif bagi kebaikan masa depan anak.
Saya paham cara ini butuh waktu, semua solusi cerdas untuk meningkatkan kualitas keluarga butuh waktu. Ada namanya “waktu tunggu” untuk suatu hasil yang istimewa. Masakan yang enak dan sehat butuh waktu dan proses didapur, tidak sekian detik jadi. Nah kualitas apa yang kita mau untuk keluarga kita?
Sumber : Timothy Wibowo dan rekan (http://www.pendidikankarakter.com)
Menyiapkan Generasi 2045
Oleh Dr. Bambang Indriyanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud
Ketika diselenggarakan Rapat Kerja antara Menteri Pendidikan Nasional dengan Komisi X pada tanggal 3 Maret 2011, Menteri Pendiidkan Nasional Prof. Muhamad Nuh membuat suatu pernyataan yang menarik untuk disimak dan direnungkan. Intinya pendidikan yang kita rencanakan sekarang adalah untuk mempersiapkan generasi yang akan berkiprash di masa depan bangsa. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) perlu untuk mendapatkan perhatian khusus karena mereka yang sekarang pada masa usia dini (2-5 tahun) akan menjadi generasi yang mengendalikan bangsa ini pada tahun 2045.
Tahun 2045 akan menjadi tonggak sejarah bangsa ini karena pada tahun itu Bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kemerdekaannya. Pada tahun itu, bangsa Indonesia akan sudah 100 tahun bebas dari penjajahan. Adalah suatu kewajaran atau bahkan suatu keharusan bahwa tahun 2045 itu dijadikan benchmarkuntuk menentukan kinerja bangsa ini selama seratus tahun merdeka dari penjajahan dan menentukan daya saing di arena internasional.
Sekarang kita sudah berada pada tahun 2011. Waktu yang tersisa tinggal tiga puluh lima tahun lagi. Waktu ini tidaklah lama untuk membangun suatu generasi yang siap untuk berkiprah pada tahun 2045.It’s now or never (kapan lagi kalau tidak sekarang).
Isyarat awal
Kebijakan pendidikan tidak berlangsung dalam kevakuman. Apa yang terjadi sekarang menjadi isyarat awal (precursor) bagi hasil kebijakan pendidikan ke depan. Terdapat dua isyarat awal yang akan memperngaruhi kebijakan pendidikan ke depan khususnya untuk proses mengajar mengajar di sekolah. Pertama adalah kemajuan teknologi informasi yang sudah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia. Dengan adanya penerapan teknolohgi informasi pada pendidikan, kegiatan belajar mengajar tidak lagi hanya didefinisikan sebagai proses interkasi antara guru dan siswa dalam kelas, tetapi proses memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas.
Kedua adalah keterbukaan. Sebagai akibat dari globalisasi yang didukung menyebarnya teknologi informasi, praktis tiada ada yang tertutup lagi. Siswa dengan mudah mendapatkan informasi apa yang mereka kehendaki tanpa hambatan yang berarti. Informasi tersebut dapat bersifat negatif atau positif.
Kedua isyarat awal tersebut akan mempunyai pengaruh langsung dalam kebijakan pendidikan. Dipertimbangkan atau tidak, teknologi informasi dan keterbukaan akan mempengruhi pola berpikir dan perilaku siswa. Oleh karena itu, dalam pengambilan kebijakan pendidikan keduanya sudah harus secara sistematis dipertimbangkan sebagai modal awal (intial endowment) menyusun kebijakan pendidikan ke depan.
Kedua isyarat awal tersebut terutama akan berpengaruh terhadap metode mengajar di sekolah. Guru tidak akan lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi siswa ketika mereka mengikuti proses belajar mengajar di ruang kelas. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa. Dengan peran ini guru akan melakuan dua peran yaitu mengarahkan siswa tentang apa yang harus mereka pelajari dan memotivasi siswa. Kedua guru perlu untuk terus mengembangkan pengetahuaannya agar dapat mengimbangi kemampuan siswa dan mengembangkan sikap sensitivitas terhadap perubahan yang secara dinamis terjadi baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri.
Arah kebijakan
Meskipun pendidik anak usia dini merupakn titik tolak untuk mempersiapkan generasi ke depan, namun pendidikan usia dini bukan program terminal. Keberhasilannya masih akan menempuh melalui jalan panjang yang berliku yaitu pendidikan dasar, menengah sampai dengan tinggi. Ketika jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai dengan tinggi merupakan jalan yang terputus maka keberhasilan pada pendidikan anak usia dini tidak akan memberikan makna.
Terdapat dua strategi yang perlu ditempuh untuk menjamin keberhasilan pendidikan anak usia dini. Pertama program pendidikan anak usia dini harus merupakan program berkelanjutan dengan program pendidikan pada jenjang berikutnya (seamless). Berdasarkan pada prinsip berkelanjutan ini memberikan isyarat bahwa pada saat anak usia dini telah menyelesaikan program PAUD, program pendidikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi menyambut mereka dengan layanan pendidikan yang lebih baik mutunya. Hanya dengan cara ini anak usia dini akan dapat mengembangkan minat dan bakatnya secara optimal ketika mereka lulus perguruan tinggi menjelang tahun 2045.
Pendekatan keberlanjutan untuk menjamin mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sampai dengan tinggi tidak akan terjadi secara otomatis tanpa adanya kebijakan yang integratif antar jenjang yang harus dimulai saat ini. Kebijakan peningkatan mutu secara integratif dilakukan dengan memberikan penekanan yang sama antara PAUD sampai dengan jenjang pendidikan tinggi.
Sinkronisasi kebijakan
Sebagai salah satu bagian dari kebijakan publik, keberhasilan pelaksanaan kebijakan pendidikan tidak terlepas dari keberhasilan kebijakan publik lainnya. Faktor kemiskinan dan stabilitas politik dalam negeri, serta ketersediaan fasilitas umum yang memadai menjadi kondisi yang harus ada dulu secara mencukupi.
Kemiskinan menjadi indikator kemampuan anggota masyarakat untuk “membeli” pendidikan bagi anaknya. Pemerintah, pusat dan daerah, tidak akan mampu mengratiskan pendidikan secara menyeluruh. Subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah hanya dapat membiayai sebagian biaya yang diperlukan oleh siswa untuk menamatkan pada jenjang pendidikan tertentu. Biaya pendidikan tidak hanya biaya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah. Untuk dapat menamatkan pendidikannya orang tua masih perlu untuk menyediakan dana untuk membiayai transportasi siswa dari ruma ke sekolah, pembelian buku tulis, dan pakaian.
Di samping itu, orang tua harus menanggung biaya tidak langsung berupa hilangnya pendapatan keluarga karena anak harus hadir di sekolah untuk periode tertentu. Dalam istilah ekonomi hilangnya sebagian penghasilan keluarga ini di sebut dengan foregone earning. Bagi orang tua dengan penghasilan tinggi, foregone eaning tidak mempunyai sumbangan yang siginfikan terhadap penghasilan keluarga. Hal ini tidak demikian halnya dengan keluarga dengan pendapatan rendah. Jika anak mengikuti kegiatan belajar mengajar secara rutin, keluarga akan kehilangan sebagian besar penghasilan keluarga.
Untuk memperkecil resiko foregone earning, terutama bagi keluarga dengan penghasilan rendah. Penyediaan lapangan kerja bagi mereka merupakan keharusan. Dengan meningkatnya penghasilan mereka tidak saja akan mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan subsidi, seperti misalnya beasiswa miskin, tetapi juga untuk meningkatkan “daya beli” masyarakat terhadap pendidikan.
Sebagai alternatif dana subsidi pendidikan dapat dialokasikan untuk peningkatan mutu pendidikan dengan menyediakan sarana teknologi informasi secara lebih merata kepada semua sekolah di Indonesia, serta peningkatan kompetensi guru baik yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.
Permasalahan perenial yang sampai sekarang masih dihadapi dalam upaya meningkatkan prestasi akademis siswa adalah gizi siswa. Siswa tidak dapat mencapai prestasi akademis maksimal jika asupan gizinya tidak memadai. Permasalahan ini tentu saja tidak menjadi tanggung jawab utama Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi Kementerian Kesehatan.
Stabilitas politik memang tidak secara langsung mempunyai pengaruh kepada kebijakan pendidikan. Tetapi stabilitas politik menjadi fondasi bagi kelancaran pelaksanaan kebijakan pendidikan. Pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan. Stabilitas politik memungkinkan pihak eksekutif dan legeslatif untuk memusatkan perhatiannya bagaimana menetapkan mekanisme pelaksanaan program pendidikan secara adil dan merata dan menentukan alokasi anggarannya.
Desentralisasi sampai dengan saat ini belum memberikan indikasi terhadap terjaminnya efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan. Koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih menjadi wacana yang mudah untuk diucapkan tetapi belum menjadi solusi pelaksanaan kebijakan pendidikan. Rekonsiliasi arah kebijakan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah belum mencapai kesepakatan. Otonomi pada tingkat pemerintah kebupaten/kota menjadi domain politik daripada domain manajemen. Dengan adanya fenomena ini penujukkan seseorang untuk menjadi kepala dinas bahkan kepala sekolah cenderung didasarkan pada aliansi politik seseorang dengan bupati/walikotayang berkuasa daripada kepala dinas atau kepala sekolah yang mempunyai kompetensi di bidangnya. Sebagai konsekuensi pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikannya pada tingkat daerah. Contoh yang sedang menjadi isu saat adalah pendistribusian BOS. Dengan adanya perubahan distribusi dana BOS yang disalurkan melalui pemerintah kabupaten/kota sampai dengan saat ini tidak lebih dari tiga ratus kabupaten/kota yang telah menyalurkan dana BOS tersebut. Padahal ketika BOS masih disalurkan secara terpusat oleh Kementerian Pendidikan Nasional, bulan Maret sudah mulai melangkah pada penyaluran triwulan kedua.
Globalisasi telah menghadang mulai sekarang dan akan semakin terbuka ke masa depan. Kompetisi akan menjadi aturan main yang harus diikuti oleh setiap negara yang keberadaannya diakui oleh negara lain. Untuk dapat memenangkan kompetisi mengandalkan pada sumber daya alam tidak lagi menjadi faktor pendukung utama. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi modal utama. Pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh kemampuan warga suatu bangsa menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ke depan knowledge and technology base economy akan semakin dominan.
Pendidikan memegang peran penting untuk menghantarkan bangsa Indonesia tampil di arena global dan memenangkannya. Namun Kementerian Pendidikan Nasional tidak bisa melaksanakannya sendiri. Koordinasi berbagai sektor publik pendukung kebjakan pendidik bersama dengan komitmen antara legeslatif dan eksekutif dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah menjadi modal penting. Mari kita songsong bersama tahun 2045 yang menjadi tonggak sejarah Bangsa Indonesia.